Anastasia Wardhanna
I was born in Jakarta, Indonesia. Only 2 short months after my birth, my family moved to America, forever changing our lives. After moving around the northeast coast, we settled in Harrisburg, where I spent my formative years. Growing up Indonesian in central PA, I often felt invisible. With our diaspora populations being much smaller compared to other Asian countries, it was very common for me to hear “what’s that?” when I told people I was Indonesian, which sadly made me feel like my heritage was not something worth exploring. Although I never actively tried to shun it away, being Indonesian didn’t mean much to me beyond a label growing up.
It wasn’t until college, after uprooting everything I knew, that I began delving much deeper into my identity and learning more. In the same year that I graduated high school and started college, Trump was elected president, which played a huge role in my political evolution. I dived into learning more about the history of Asian America, colonialism, immigration, capitalism, and more. I became inspired by Indonesian revolutionary figures and the Third World movement. I began reflecting more on my own experiences and how my Asian identity intersected with my gender, class, religious upbringing, and more. Everyday I continue to learn more. My identity as an Asian American person will always be complex and ever-evolving, and I embrace that journey whole-heartedly.
I was also pursuing an art degree, something that is unfortunately often discouraged in Asian immigrant communities. Art and creative expression has always been at the core of who I am. However, it wasn’t until college that I really began exploring the ways art can also be used for social change and community connection. In 2020, I released lingual (lingualzine.com), a collaborative zine for and by children of immigrants. The zine provided a safe space for children of immigrants to share their stories through art, writing, interviews, and more. I was honored and excited to be able to facilitate a space for people to express themselves and knew it was something I wanted to continue pursuing.
What brings me so much joy is connecting with fellow Asian Americans and being inspired by the ways they’re also creating change, something that I’m so glad to have found in HAAPI. From working to break cycles of intergenerational trauma, connecting with their local communities, expressing themselves authentically, and so much more. I hope to continue to use art, storytelling, and activism to build collective empathy and create spaces, both physical and non physical, where people are free to be their authentic selves without fear.
Cerita Anastasia
Saya lahir di Jakarta, Indonesia. Hanya 2 bulan setelah kelahiran saya, keluarga kami pindah ke Amerika yang mengubah hidup kami selamanya. Setelah berpindah-pindah di sepanjang pesisir timur laut, kami menetap di Harrisburg, tempat saya menghabiskan masa formatif saya. Tumbuh dewasa sebagai orang Indonesia di Tengah Pennsylvania, saya sering merasa tidak kasat mata. Karena populasi diaspora kami jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Sering saya mendengar "apa itu?," ketika saya mengatakan bahwa saya orang Indonesia; yang sayangnya membuat saya merasa seperti warisan budaya ini tidak bernilai untuk diketahui. Meskipun saya tidak secara aktif menolak indentitas saya, menjadi orang Indonesia tidak berarti banyak selain sebuah label saat saya tumbuh dewasa.
Baru di perguruan tinggi, setelah saya merombak semua yang saya ketahui, saya mulai mengenal identitas saya lebih dalam dan belajar lebih banyak.Trump terpilih sebagai presiden pada tahun yang sama saya lulus SMA dan masuk perguruan tinggi. Kejadian ini berpengaruh besar dalam evolusi politik saya. Saya mendalami sejarah Asia Amerika, kolonialisme, imigrasi, kapitalisme, dan lainnya. Saya terinspirasi oleh tokoh-tokoh revolusi Indonesia dan gerakan Dunia Ketiga. Saya sering merenungkan pengalaman saya pribadi dan bagaimana identitas Asia saya terkait dengan gender, kelas, pendidikan agama, dan lain-lain. Setiap hari saya belajar lebih. Identitas saya sebagai seorang Asia Amerika akan selalu kompleks dan terus berubah, dan saya menyambut perjalanan ini dengan sepenuh hati.
Saya juga mengejar gelar seni, sesuatu yang sayangnya sering diragukan dalam komunitas imigran Asia. Seni dan ekspresi kreatif selalu menjadi bagian besar dari saya. Namun, baru di perguruan tinggi saya mulai menjelajahi bagaimana seni juga dapat digunakan untuk membawa perubahan sosial dan menyatukan komunitas. Pada tahun 2020, saya merilis lingual (lingualzine.com), sebuah zine kolaborasi untuk dan oleh anak-anak imigran. Zine tersebut menyediakan ruang aman bagi anak-anak imigran untuk berbagi cerita mereka melalui seni, tulisan, wawancara, dan lainnya. Saya merasa terhormat dan bahagia bisa memfasilitasi ruang untuk mengekspresikan diri, dan saya tahu itu sesuatu yang ingin saya lakukan.
Membangun hubungan dengan sesama orang Asia Amerika dan terinspirasi oleh cara mereka membawa perubahan; menemukan HAAPI telah membawa begitu banyak kebahagiaan untuk saya. Dari upaya mengakhiri siklus trauma antargenerasi, berhubungan dengan komunitas lokal, mengekspresikan diri
secara autentik, dan lainnya. Saya berharap untuk terus bisa menggunakan seni, cerita, dan aktivisme untuk membangun empati kolektif dan menciptakan ruang, baik fisik maupun non-fisik, di mana semua orang menjadi diri mereka yang sebenarnya tanpa rasa takut.