Amy Zecha
Growing up as half Chinese and half white, I always felt a sense of otherness. From young, I knew my family wasn’t like others around us, and I was glad for my specialness, my differentness. But my very presence seemed to confound and confuse others.
“What are you?”
“Where are you from?”
“No, where are you from originally?”
I still get this question a lot. And I admit, I like that I am a chameleon. My visual identity is a bit like one of those optical illusion eye tests – people see what makes sense to them. Most people look at me and see that I’m not “just white” but they don’t really know what I am. Common guesses are Hispanic, Italian, Native American, but rarely Asian.
When I tell people I am half Chinese, some argue with me. Like I’m mistaken or making it up. “You don’t look Chinese,” they say. “Are you sure you’re not Hispanic?”
So, to claim my heritage, I say it out loud. “I am Asian American.” And since my biracial body doesn’t read as “Asian enough” on its own, I add other visual clues to show that I am part of the Asian community. I wear bright clothing made from batik cloth and adorn myself with my grandmother’s jade jewelry. I cook the foods my mother taught me, keep chopsticks in my silverware drawer, and take pride in my ability to navigate through an Asian grocery store – especially the produce section with its plethora of green vegetables and tropical fruits. Exotic and unfamiliar to some, they are the comfort foods of my childhood, as they were for my mother who grew up in Indonesia and Singapore.
My family history and heritage brings me much joy, and the color, curiosity, and zest for being just a bit different are in my blood. My mother always said we came from a family of nomads, “citizens of the world” as she called it. She loved adventure and encouraged me and my brother to explore the world with curiosity – no matter whether we were at home in Central PA, or farther afield, even abroad. And I like to think that I still carry that lesson with me today.
Cerita Amy
Tumbuh besar sebagai perpaduan keturunan Tionghoa dan kulit putih, saya selalu merasa memiliki pengalaman yang unik. Sejak kecil, saya menyadari bahwa keluarga kami tidak seperti keluarga yang lain, dan saya merasa bangga karena kami special dan berbeda. Namun, seringkali keberadaan saya membuat orang lain bingung.
"Asalmu apa?"
"Kamu dari mana?"
“Bukan itu, maksudku, dari mana asalmu yang sebenarnya?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu masih sering saya dengar. Saya mengakui bahwa saya menikmati perasaan sebagai seorang "bunglon". Identitas visual saya ibaratnya tes mata ilusi optik – orang melihat apa yang mereka anggap masuk akal. Banyak orang berpikir saya bukan "hanya berkulit putih", tetapi mereka kesulitan menentukan latar belakang saya dengan pasti.
Sering orang menebak saya berasal dari keturunan Hispanik, Italia, atau suku asli Amerika, tetapi jarang yang menebak bahwa saya memiliki akar Asia.
Ketika saya mengungkapkan bahwa saya setengah Tionghoa, ada orang yang meragukan atau bahkan memperdebatkan asal-usul saya. "Tapi kamu tidak terlihat seperti orang Tionghoa," begitu kata mereka.
“Apakah kamu yakin kamu bukan orang Hispanik?”
Jadi, untuk menegaskan warisan budaya saya, saya menyatakan dengan bangga, "Saya adalah warga Amerika dengan keturunan Asia." Dan karena penampilan fisik saya tidak secara eksplisit "Asia", saya menambahkan unsur-unsur visual lainnya untuk menunjukkan identitas saya sebagai bagian dari komunitas Asia. Saya mengenakan pakaian berwarna cerah dari kain batik dan menghiasi diri dengan perhiasan giok warisan nenek saya. Saya memasak makanan tradisional yang diajarkan oleh ibu saya, menyimpan sumpit di dalam laci peralatan makan, dan bangga akan kemampuan saya dalam menavigasi supermarket Asia – terutama bagian sayuran hijau dan buah-buahan tropis. Meskipun bagi banyak orang makanan-makanan ini terasa eksotis dan asing, bagi saya, makanan-makanan ini adalah kenangan masa kecil. Begitu pula untuk ibu saya yang tumbuh besar di Indonesia dan Singapura.
Sejarah dan warisan budaya keluarga saya telah memberikan saya banyak kebahagiaan, warna, rasa
keingintahuan, serta rasa keunikan, semua di dalam darah saya. Ibu saya selalu mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga nomaden, "warga dunia" seperti yang ia sebutkan. Beliu selalu mendorong saya dan saudara laki-laki saya untuk menjelajahi dunia dengan penuh rasa ingin tahu – tidak peduli apakah kami berada di rumah di tengah Pennsylvania atau di tempat-tempat yang jauh, atau bahkan di luar negeri. Saya yakin bahwa pelajaran tersebut masih membimbing saya sampai sekarang.