Aminah Arshad
My story is about me finally finding my voice to advocate for myself, rather than always advocating for others. When I was a child, I didn’t get to play like other children did. I didn’t get to go to school like the majority of the kids that are my age. Instead, I was at home babysitting my little sister so that my parents could go to work to provide for the family. I was cooped up in the house doing chores for the family and I didn’t have any friends or support that I needed as a child. I couldn’t help but feel as though my childhood was robbed from me. I was very quiet, shy, and reserved as a kid. Then when I got older, I too started working so I can provide additional income to the family.
When my family migrated to the United States, I learned a new culture and had a hard time assimilating due to the cultural and religious differences. My parents tried so hard to stick to their traditional values and were strict. Age 14 was the first time I had any type of schooling and I had to learn English quickly so that I could translate for my parents. I had to quickly grow up so I can make adult decisions when dealing with the mortgage, insurance, medical needs, etc. I spent most of my adulthood adhering to my family values and principles. I displayed a different persona when I was around my family and showed my authentic self in front of others who seemed accepting of me. I led a dual life and I lost a lot of myself in the process and it made me miserable.
Now I’m learning to break away from those rules and expectations and finally do what is good for me and it feels liberating. I have assimilated to my American identity in some ways but I still very much embrace my Asian identity where I still fully speak my mother’s tongue and find comfort in my ethnic foods and music. I’m still figuring things out, but I’m presently content with how everything has turned out.
My family came to the United States as refugees from Aceh, Indonesia. As a product of refugees, I feel eternally grateful to have been given the opportunity to start over in life. Since I didn’t go to school in Malaysia, I took advantage of the opportunity to pursue higher education in the United States. I struggled all throughout college and it took me longer to finish my studies because I had to work and pay for my own education. I’m the first in my family to ever graduate from a university and not follow a traditional route of getting married to someone from back home and raising a family. I feel invisible in my own Acehnese community because I’m not religious or considered cultured/traditional enough. I was raised to be obedient and submissive, so it’s always been so hard for me to speak up for myself.
When I first came to the United States, I was too busy focusing on the language barrier and establishing roots in a new country that I was oblivious to issues such as prejudice and racism. I became aware of anti-Asian racism roughly around 2020 due to the Covid-19 Pandemic and the rise of anti-Asian hate and felt the need to advocate and empower the community. Since then I realized the importance of solidarity among pan-Asian ethnicities and am very grateful to have found an AAPI community. I hope more people will recognize the importance of uplifting one another and work towards solidarity.
Cerita Aminah
Cerita saya adalah tentang bagaimana saya menemukan suara saya untuk mengutamakan diri sendiri, diatas kebutuhan orang lain. Ketika saya masih kecil, saya tidak bisa bermain seperti anak-anak lainnya. Saya tidak bisa pergi ke sekolah seperti kebanyakan anak seusia saya. Sebaliknya, saya tinggal di rumah menjaga adik perempuan saya agar orang tua saya bisa pergi bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Saya terperangkap di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga dan saya tidak memiliki teman ataupun dukungan yang saya butuhkan sebagai seorang anak. Saya tidak bisa berpura-pura, seolah masa kecil saya tidak dirampas dari saya. Saya sangat pendiam, pemalu, dan tertutup saat kecil. Setelah saya beranjak dewasa, saya mulai bekerja agar bisa memberikan penghasilan tambahan untuk keluarga.
Waktu keluarga saya berimigrasi ke Amerika Serikat, saya belajar budaya baru dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi karena perbedaan budaya dan agama. Orang tua saya berusaha keras mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka dan sangat kukuh. Pada usia 14 tahun saya mendapatkan pendidikan formal untuk pertama-kalinya dan saya harus belajar bahasa Inggris secepatnya agar bisa menerjemahkan untuk orang tua saya. Saya harus dewasa lebih cepat agar bisa membuat keputusan terkait hipotek, asuransi, kebutuhan medis, dll. Saya menghabiskan sebagian besar masa dewasa saya mematuhi nilai-nilai dan prinsip keluarga. Saya menampilkan persona yang berbeda di sekitar keluarga saya dan menjadi diri saya yang autentik di depan orang lain yang tampaknya menerima saya. Saya menjalani dua kehidupan dan kehilangan sebagian besar diri saya dalam proses itu yang membuat saya tidak bahagia.
Sekarang saya masih belajar untuk beranjak dari semua aturan dan ekspektasi itu; dan melakukan yang terbaik untuk saya dan itu terasa membebaskan. Saya mengadopsi identitas Amerika saya dalam beberapa aspek tetapi saya masih sangat memeluk identitas Asia saya; dimana saya masih sepenuhnya berbicara dalam bahasa pertama saya dan merasa nyaman dengan makanan dan musik etnis saya. Saya masih harus memahami banyak hal, tetapi saat ini saya bahagia dengan bagaimana segalanya telah berubah.
Keluarga saya datang ke Amerika Serikat sebagai pengungsi dari Aceh, Indonesia. Sebagai pengungsi, saya merasa sangat bersyukur untuk kesempatan memulai hidup baru. Karena saya tidak sekolah di Malaysia, saya memanfaatkan kesempatan untuk mengejar pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Saya berjuang sepanjang masa kuliah dan butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan studi saya, karena saya harus bekerja dan membayar pendidikan saya sendiri. Saya adalah yang pertama di keluarga yang
lulus dari universitas dan tidak mengikuti jalur tradisional untuk menikah dengan seseorang dari kampung halaman dan berkeluarga. Saya merasa ‘tidak kasat mata’ dalam komunitas Aceh saya karena saya tidak religius atau dianggap cukup berbudaya/tradisional. Saya dibesarkan untuk patuh dan tunduk, jadi selalu sulit bagi saya untuk mengutamakan diri saya sendiri.
Pertama kali datang ke Amerika Serikat, saya terlalu fokus pada batasan bahasa dan sibuk menetapkan akar di negara baru, sehingga saya tidak menyadari masalah seperti prasangka dan rasisme. Saya menyadari rasisme anti-Asia sekitar tahun 2020 karena Pandemi Covid-19 dan meningkatnya kebencian terhadap orang Asia. Saya merasakan panggilan untuk membela dan memberdayakan komunitas. Sejak itu saya menyadari pentingnya solidaritas di antara etnis Asia dan sangat bersyukur telah menemukan komunitas AAPI. Saya berharap lebih banyak orang akan menyadari pentingnya saling mendukung dan bekerja menuju solidaritas.